Jejak Kuliner Tionghoa dan Arab di Kuliner Khas Pemalang

Jejak Kuliner Tionghoa dan Arab di Kuliner Khas Pemalang
Jejak Kuliner Tionghoa dan Arab di Kuliner Khas Pemalang
Saya takjub bagaimana takdir Allah memperkaya kuliner Indonesia dengan cara yang tak disangka dan seolah tak terasa. Kita sering tidak menyadarinya tapi kalau mau mengamati sebenarnya kuliner kita diperkaya juga oleh pengaruh Arab, Tionghoa, Eropa, Amerika Latin, dan Afrika. Di Pemalang pun demikian, setidaknya kuliner khasnya dipengaruhi oleh kuliner Tionghoa dan Arab.

Jejak Kuliner Tionghoa di Kuliner Pemalang
Orang-orang Tionghoa sudah sejak lama menetap di Pemalang. Salah satu buktinya adalah catatan sejarah pada kisaran tahun 1946.

Pada waktu itu para pemuda Tionghoa Pemalang membentuk LTI (Lasjkar Tionghoa Indonesia). Sumber lain menyebutkan nama kelompoknya adalah LPT (Laskar Pemuda Tionghoa). Mereka memihak Indonesia dan melawan Belanda, di kemudian hari juga berperan penting dalam pelucutan tentara Jepang di Pemalang.

Interaksi orang Tionghoa dengan penduduk pribumi saya duga juga mempengaruhi warna kuliner Pemalang. Sebab, perantauan Tionghoa memang memperkenalkan kuliner mereka di Nusantara dan jejaknya banyak sekali hingga saat ini. Baik teknik memasak, alat makan, makanan, minuman, hingga jajanan.

Soto Grombyang
Indonesia memiliki banyak varian soto yang khas menjadi ciri kuliner daerah-daerah tertentu. Salah satunya adalah soto grombyang yang dimiliki Pemalang.

Makanan berkuah ini menggunakan kluwak sehingga kuahnya berwarna hitam dipadu dengan kelapa sangrai dan tauco. Isiannya daging sapi atau kerbau, dan biasa dimakan dengan lauk sate kerbau, tak lupa kecap melengkapi kesedapannya. Dinamakan grombyang karena penyajiannya kuahnya membanjiri nasi sehingga air kuah sampai bergoyang-goyang.

Sejarawan Denys Lombard mengatakan kata soto berasal dari kata cao du (chau to dalam dialek Hokkian).  Sementara menurut Russel Jones soto berasal dari kata shao du (sio to dalam dialek Hokkian).

Artinya kurang lebih masakan rerumputan dan perut hewan. Rerumputan kemungkinan besar untuk menyederhanakan sebutan rempah-rempah Nusantara, sementara perut hewan adalah jeroan, kemungkinan jeroan sapi. Jadi soto dari asal katanya adalah jeroan yang dimasak dengan bumbu rempah-rempah.

Kita bisa melihat bahwa soto adalah hasil dari akulturasi kuliner Tionghoa dengan kuliner Nusantara. Dalam perkembangannya muncul banyak varian soto yang menjadi khas karena dipadu dengan kekayaan kuliner daerah, salah satunya tentu soto grombyang. Selain itu, penggunaan tauco dan kecap di soto grombyang juga merupakan pengaruh kuliner Tionghoa.

Bakso Balungan
Seperti bakso pada umumnya namun yang membuat istimewa adalah balungan (tulang sapi yang masih ada dagingnya) yang disajikan bersama bakso. Semangkuk bakso balungan menawarkan kenikmatan sensasi menggerogoti daging yang masih melekat di tulang. Apalagi kalau pas dapat tulang yang ada sumsumnya, makin sedap.

Konon bakso balungan ini awalnya populer di Demak, seiring waktu diserap oleh kuliner Pemalang hingga sekarang. Bak so sendiri adalah dialek Hokkian untuk kata rou si yang artinya daging parut. Dulu bakso dibuat dari daging yang dicincang berjam-jam menggunakan punggung pisau yang tumpul, hasilnya berupa daging cincang yang lembut mirip diparut.

Tahu Pletok
Pemalang juga dikenal dengan tahu pletoknya, tepatnya di Karangmoncol, kecamatan Randudongkal. Proses penggorengan tahu ini dua kali, setelah digoreng tahu dibelah dan dibumbui lalu digoreng lagi. Tahu pletok tak kalah enaknya dengan tahu aci Tegal, teksturnya renyah enak dimakan saat masih hangat.

Tahu berasal dari kata dou fu (tau hu dalam dialek Hokkian) dan keberadaannya di Nusantara lebih tua dibanding tempe. JJ Rizal mengatakan pada abad ke 10 tahu sudah diperkenalkan oleh orang Tionghoa pada kalangan tertentu di Nusantara. Kini ia menjadi makanan rakyat di Indonesia dan bahkan menjadi makanan khas daerah tertentu seperti tahu pletok di Pemalang.

Jejak Kuliner Arab di Kuliner Pemalang
Dahulu orang-orang Arab datang ke Nusantara untuk berdagang dan lalu berdakwah. Mereka umumnya tinggal di kota-kota pelabuhan, berkelompok di perkampungan dekat dengan pelabuhan. Banyak di antara mereka yang menetap di Nusantara dan keturunannya seterusnya menjadi warga negara Indonesia.

Tegal termasuk salah satu kota yang paling banyak komunitas Arabnya. Kota tetangganya, Pemalang, pun memiliki komunitas Arab meski tidak sebanyak di Tegal. Orang-orang Arab perantauan itupun membawa tradisi kuliner mereka ke tempat tinggalnya yang baru.

Kamir
Kamir konon diperkenalkan oleh orang-orang Arab yang tinggal dan menetap di Pemalang. Kuliner Arab memang mengenal berbagai varian roti berbahan tepung. Tak heran jika salah satu kuliner yang mereka bawa ke telatah Pemalang adalah kamir.

Di negara Uni Emirat Arab sendiri ada sebuah roti tradisional bernama khameer/khamir yang biasa dijadikan menu sarapan. Khamir adalah nama semacam ragi, dan di daerah Kashmir juga dijumpai roti khamiri. Cuma bentuknya berbeda dengan kue kamir, bentuknya pipih tipis seperti kulit pizza.
Dugaan saya kenapa kue kamir Pemalang dinamai kamir, karena penggunaan ragi dalam adonannya. Bahan kamir memang terdiri dari tepung terigu atau beras, ragi, mentega, dan gula.

Adonan yang sudah jadi diinapkan semalam agar mengembang lalu dipanggang di loyang di atas kompor. Loyang yang digunakan berbentuk cetakan bulat, satu loyang bisa memanggang beberapa kamir. Yang berbahan terigu bisa tahan hingga 3 hari, namun kamir berbahan tepung beras hanya tahan 1 hari.

Kamir paling terkenal di Pemalang adalah kamir Cap Mawar Ibu Chamidah dari Kampung Arab Mulyoharjo. Awalnya dirintis oleh Aisyah, seorang keturunan Arab, sekarang dilanjutkan keturunannya yang ke sekian bernama Tuffaah. Hingga kini masih memproduksi baik kamir terigu maupun kamir tepung beras.

Distribusi kamir Cap Mawar juga sampai ke kota Tegal. Saya dulu sering mengunjungi kota bahari ini, di daerah jalan jeruk ada yang menjajakan kamir. Pertama kali saya mencoba mencicipi kamir, langsung suka, rasanya manis ada gurih-gurihnya, teksturnya lembut.

Apem Comal
Kue ini berasal dari kecamatan Comal, Pemalang dan biasa dijual di pasar Comal. Kue manis ini berbentuk bulat, tipis, beralaskan daun pisang, berbahan tepung beras dan gula merah.

Hubungannya dengan kuliner Arab sendiri menurut saya ada dua kemungkinan. Pertama, kue ini bisa jadi turunan dari kamir, akulturasi budaya menyebabkan resepnya berpadu dengan kuliner lokal yaitu penggunaan gula merah.

Kedua, mungkin masih berhubungan juga dengan apem di daerah Jawa Tengah lainnya, yang biasa disebut dengan apem Jawa. Berbeda dengan apem Comal, apem Jawa tidak biasa menggunakan gula merah.

Sejarahnya apem Jawa adalah Maulana Maghribi I asal Maroko yang berdakwah di Jawa tidak bisa makan nasi. Maka beliau membuat semacam roti dari tepung beras yang sampai sekarang dikenal sebagai apem.

Penutup
Kuliner khas Pemalang tidak hanya yang tertulis di atas. Kabupaten bermoto "Pemalang Pusere Jawa" ini juga punya kepiting lemburi, lontong dekem, sate loso, kraca (keong sawah), dan makanan-makanan lain yang mampu memanjakan lidahmu. Jika kamu berkunjung di Pemalang, untuk buah tangan saat pulang kamu bisa membeli bandeng montok, ogel-ogel, bongko mento, dan kerupuk useg.

Penulis : Purwanto Ngareng Sorogo
Advertisement